Pesan dari Tukang Martabak

Dua minggu lalu, tepatnya hari Minggu sore, aku jalan-jalan ke Lapangan Puputan Badung, Denpasar Bali.

FYI, tiap minggu sore aku biasa ngabisin waktu dari habis ashar sampai maghrib ke Lapangan Renon atau Lapangan Puputan Badung untuk olahraga atau sekedar baca buku. Pokoknya duduk dibawah pohon dan duduk/tiduran diatas rumput hijau, sambil nunggu sunset. Pokoknya recharge mood bagus banget. Walaupun sendiri.

Tapi saat itu berbeda. Pulangnya aku diajak ngobrol sama seorang laki-laki (middle 30 to 40 tahunan kayaknya). Karena aku biasa supel sama orang, yaudah aku tanggapin. Dia nanya apa aku udah nikah atau belum. Aku ketawa aja sambil jawab belum. Trus dia bilang bahwa dia orang Bali dan belum nikah katanya. Wah ngga beres ini. Resah banget pokoknya saat itu. Ternyata dia ngga basa-basi lagi ngajak nikah. Buseeet! Dia juga berani pindah agama dari Hindu ke Islam kalau aku mau. Dia juga nawarin tanah yang dia punya di Singaraja. Aku ketawa sambil ngeluarin kunci motor dan starter motorku. Ngga berlama-lama lagi aku pamit sama orang itu dan pergi. 

Dari sini aku belajar hal baru, yaitu setiap orang emang harus punya boundary. Baik boleh sama orang, tapi jangan terlalu baik juga. Aku juga ngga bakal buka-buka tentang identitas relationshipku lagi dengan orang-orang. Dan semenjak itupun aku selalu pakai cincin (yang kubeli sendiri di pameran) supaya aku merasa lebih aman. 

Pulangnya aku ke tukang martabak langgananku. Disana aku diajak ngobrol sama si emang. Dia ngira kalau aku masih anak kuliah. Lalu aku aminkan. Tapi kemudian dia bilang kalau mau kuliah lagi nikah dulu. 

Duh.. batinku. Kenapa topik itu lagi?

Lalu aku tertawa kecil aja. 

Dia tapi melanjutkan, dan dia berpesan sesuatu kalau aku memang mau nikah. Sebenernya ngga mau curiously, tapi berhubung aku udh kenal baik, dan istrinya juga baik ke aku (kebetulan istrinya lagi solat maghrib saat itu), akhinya aku tanggapin lah.. 

"Apa tuh pak?", tanyaku.

Dia jawab, "Siapkan uang yang banyak ya.. Ini beneran ini.."

Aku tambah bingung untuk apa? Mungkin untuk biaya nikah? Atau untuk biaya resepsi? Ah masa sih? Itukan tanggung jawab bersama, ngga cuma pihak wanita. Lalu aku lanjut bertanya penasaran, "Maksudnya buat nikahnya? pestanya? kok saya yg siapin uang banyak pak?"

Dia cuma senyum-senyum sambil lanjutin masak martabakku dan juga pesanan lainnya. "Bukan..", jawabnya.

Aku makin curiga. "Bukan menyekutukan Allah kan pak?", tanyaku penasaran.

"Astagfirullah, ya bukan lah mbak..", dia kaget tapi lanjut ketawa-ketawa.

Akhirnya aku tekankan lagi, "Jadi gimana pak? Saya ngga ngerti ah.."

Dia jawab sambil terus memasak martabakku, "Mbaknya siapin uang yang banyak, lalu sedekahin dengan niat untuk nikah. Beneran deh, ini saya beneran kejadian soalnya."

"Jadi sedekah diluar sedekah penghasilan dengan niat untuk nikah ya, pak? Gitu?", tanyaku masih penasaran.

"Iya, betul banget mbak.", jawabnya.

Aku mikir agak berat setelahnya. Tapi memang masuk akal. Wah gila bapaknya pantesan dapet istri muda, cantik and baik hati kayak si ibu. 

Hari itu aku belajar banyak tentang nikah dan sedekah. Tapi lebih ke manfaat sedekah sih. Ternyata sedekah bisa menghantarkan kita kepada suatu tujuan yang belum tercapai. Disini aku juga ambil kesimpulan, ngga cuma tentang nikah, tapi juga mungkin cita-cita yang lain yang ingin sekali kita capai. Tapi jangan lupa zakat penghasilannya dikeluarkan dulu ya teman-teman setiap kali dapat penghasilan. :)

Kejadian ini semoga menjadi pengingat bagi kita semua. Aamiin..

Denpasar, 28 Juli 2020

Komentar