Hiring an Intellectual Person.

Sekitar dua minggu yang lalu, aku dan dua orang temanku pergi ke sebuah resort di kawasan Ubud, Bali berencana untuk bermalam disana setelah tiga bulan terperangkap dalam kejenuhan #stayathome.

Kami menghabiskan waktu untuk bersantai melepas penat: berenang dengan view pemandangan alam, berendam dengan bubble bath, menikmati ice cream coconut terenak di Ubud, menghabiskan malam dengan romantic dinner, juga mencoba variant masker "mahal" yang selalu terjadwal dibawakan oleh salah satu temanku sebelum akhirnya kita semua movie night sampai tertidur pulas.

Ada satu momen saat kami sedang skincare-an, salah satu temanku bilang bahwa ia akan melepaskan masa lajangnya tahun ini. Wow kita semua kaget dan bahagia tentunya.

Kami bertiga memiliki personality yang cukup berbeda dalam hal having relationship with a partner. Satu dari temanku memilih akan mengarah ke hubungan yang lebih serius, dimana satu yang lainnya tidak memiliki ketertarikan dalam hal tersebut. Aku sendiri merupakan orang yang paling muda diantara mereka dimana aku masih mencari arahku dalam hal tersebut.

Sebenarnya ngomongin tentang relationship itu susah-susah-gampang. Susahnya pasti saat kita bertemu dengan prakteknya dimana gampangnya adalah jika kita ngomongin tentang teorinya.

Bukan hanya sekali dua kali juga teman-temanku mencoba untuk menjodohkanku dengan teman-teman mereka. Bahkan sejak kuliah, adik tingkatku sudah menawarkan untuk menjodohkanku dengan kakaknya. Kaprodi dan beberapa dosen menjodohkanku dengan seorang dosen. Temanku menjodohkanku benar-benar serius dengan saudaranya atau teman dekatnya. Lulus kuliah jangan ditanya tawaran semakin banyak. Apalagi saat sudah di kantor, perjodohan naik ke jenjang yang lebih mapan. Lebih dikerucutkan lagi filtrasinya oleh teman-temanku.

Kadang aku mikir kenapa ya mereka seniat itu untuk menjodohkanku. Bahkan untuk menolak saja beraaat sekali rasanya karena sungguh aku belum berminat dan tidak enak jika menolak niat baik mereka walaupun pasti kujawab tidak.

Aku juga kadang mikir, kenapa ya aku ngga bisa kayak orang-orang yang jodohnya dateng sendiri tanpa harus dijodoh-jodohin? Kenapa mereka semudah itu mengambil keputusan untuk berkomitmen dengan pasangannya? Kenapa aku masih blm punya rasa untuk concern dalam hal itu walaupun banyak pihak sudah mendorongku untuk segera, segera, dan segera!

Banyak banget yang bilang ke aku "jangan terlalu tinggi masang kriteria", "jangan menutup diri", "jangan jual mahal", "jangan berpendidikan terlalu tinggi nanti pada takut". Hah?

Kalau memang begitu, sedikit sekali dong laki-laki di dunia ini yang memiliki kepercayaan diri?

Tidak pernah sedikitpun terlintas bahwasannya aku sama seperti deskripsi larangan mereka. A hundred percent NO!

Aku percaya bahwasannya jodoh adalah cerminan diri. Mungkin aku saat ini belum bertemu karena memang belum pantas untuk mendapatkan itu. Aku belum cukup matang untuk kearah tersebut sehingga perlu untuk terus memperbaiki diri. Perlu untuk bermuhasabah diri: mungkin aku masih kekanak-kanakan, belum dewasa, masih kurang percaya diri, masih belum baik, masih kurang ibadahnya, dan lain lain. Jadi aku perlu untuk lebih membenahi diri terlebih dahulu.

Satu hal yang pasti saat kami sedang menggunakan masker, salah satu temanku mentioned that my type is an intellectual person. Lalu aku berpikir panjang menerka-nerka sebelum akhirnya aku menjawab Yes.

Finally, I got the keyword..

Komentar