My Life Improvement

Dari Subang ke Yogya (September 2013), aku bertemu orang-orang baru. 

Orang-orang dengan kepribadian yang belum pernah aku temui di Subang. Belajar banyak? Pasti. Tapi aku lebih mudah beradaptasi disini. Mereka kebanyakan juga perantauan, jadi wajar kalau sama-sama saling menjaga. Yang pribumi juga emang dasarnya baik, jadi kami tambah nyaman tinggal di Yogya. 

Benar tentang slogan “istimewa” itu. Jogja benar-benar istimewa. 

Apa buktinya? 

Buktinya setiap orang yang sudah meninggalkan Yogya pasti bilang rindu dengan kota ini. Rindu dengan orang-orangnya yang ramah, lingkungan yang bagus dengan regulasi spesial, pantas lah mendapat julukan “Special Region of Yogyakarta”. 

Saking spesialnya, kadang orang terjebak dengan zona nyaman itu sendiri. Ritme kehidupan disana mengambil asas “alon-alon asal klakon” yang artinya pelan-pelan asal kesampaian atau slow but sure atau mungkin biasa kita dengar dengan istilah pelan tapi pasti. Tidak ada yang salah dengan ritme tersebut, tetapi memang mungkin bukan ritme dasarku untuk stay di zona itu. 

Akhirnya aku berpikir untuk take a challenge

.

.

.

Dari Yogyakarta aku pindah ke Bali tepat di akhir bulan April 2019. 

Bukan tanpa alasan. 

Selain karena aku rasa akan lebih baik jika aku jauh dari orang-orang terdekatku sehingga mereka akan tau bagaimana rasanya rindu terbentuk, tetapi aku juga ingin belajar tentang ritme kehidupan orang-orang di pulau dewata ini. 

Berat awalnya, memang. Aku sendiri butuh penyesuaian sekitar tiga minggu di awal bulan untuk memahami as well as menerima bahwa orang-orang disini ya begini adanya.

Mereka mengedepankan asas “your business is none of my business”. 

Sebenarnya hal itu bagus. Jadi apa yang kita lakukan ya ngga ada hubungannya sama orang lain, ngga akan ditanya-tanyain sampe detail dan ngga mau urusan juga. Mereka juga ngga akan menyapa jika ngga disapa duluan. Ini jelas berbeda jika di Yogya, dimana kita menyapa karena disapa duluan. 

Karena aku kebiasaan dengan culture di Yogya, otomatis aku akan kaget jika berada di kasus pertama. 
That’s what I felt at the beginning in Bali. Butuh waktu untuk penyesuaian lingkungan, jelas.

Setelah bisa penyesuaian dengan culture baru, aku juga merasakan perubahan yang tidak biasa dalam hal tingkatan derajat sosial disini.

Dulu saat di Yogya, aku bertemu orang-orang yang sederhana. Akan membeli sesuatu jika dibutuhkan, dan akan membeli sesuatu dengan harga yang terjangkau. Dan itu semua berbeda dengan lingkungan kantorku saat ini.

Disini aku dipertemukan dengan orang-orang yang memang dasarnya kelas middle high. Which is the price is nothing for them, as long as good for the quality.

Setelah menjalani kehidupan selama tiga bulan dengan mereka, aku manjadi tahu bahwasannya dunia ini memang cukup luas untuk kita jelajahi. Aku yang notabenenya baru merantau beda pulau tetapi masih satu negara aja sudah menemukan perbedaan gaya hidup yang terbilang significant, perbedaan agama yang benar-benar beragam, dan tingkatan sosial yang benar-benar berbeda dengan sebelumnya. Apalagi jika aku go abroad dan tinggal lama disana?

Di lingkungan baruku ini, aku dekat dengan dua orang perempuan (karena hanya mereka yang perempuan) dan mereka baik sekali. Mereka benar-benar membuat diriku berkembang.

Orang pertama yang aku kenal dari mereka adalah kak Hana. Dia lahir di Bogor, tetapi sejak kecil sampai kuliah dua semester tinggal di Amerika Serikat tepatnya di Virginia. Kemudian dia melanjutkan kuliahnya di Malaysia sebelum akhirnya kembali ke Indonesia dan kerja di Bali. Dia baik banget. Selalu spread positivity for me. Selalu mendukungku dalam hal practicing English dan ngga risih sama sekali kalau aku banyak nanya ini itu. Pokoknya oke banget lah dijadikan kakak selama di Bali. Dia juga rajin solat, dan mau kuajak untuk solat ketika sedang jalan keluar. Semoga kebahagiaan selalu menyertainya.

Oh iya, satu hal yang selalu aku ingat dari kak Han adalah ketika aku selalu mencari kos dengan harga yang murah, berbeda dengan kak Hana. Dia mencari kos dengan tipe studio bahkan walaupun harganya mahal. Mungkin karena sudah terbiasa juga di negara-negara sebelumnya seperti itu. Dan mungkin sebagian dari kalian menganggap kalau ini hal yang biasa, tapi ini adalah hal baru buat aku.

Orang kedua yang aku kenal yakni Jessica. Dia memang terlahir kaya tapi juga terlahir untuk jadi orang baik. Sama dengan kak Hana, dia juga selalu support aku dalam hal practicing English. Orangnya ceriwis tapi hal itulah yang ngebuat dia supel dengan orang-orang disekitarnya. Walaupun dia punya apapun, tetapi dia tidak pernah menyombongkannya. Ya begitulah seharusnya.

Satu hal yang kuingat dari dia adalah ketika orang-orang bahkan tidak pernah berbelanja di Sephora, yang dia lakukan justru menyimpan ke gudang banyak souvenir totebag dari Sephora karena telah berbelanja dan menjadi membership. Atau ketika orang orang akan memberikan kantong plastik untuk barangmu, dia malah memberikan paper bag Zara untukku. Semua barang-barangnya benar-benar berkelas dan bermerek. Tapi dia tidak punya akun di sosial media manapun. Memang sengaja. Dan kebanyakan orang-orang dengan mobilitas tinggi serta berkelas ternyata seperti itu. Hal ini benar-benar menamparku.

Memang ngga akan pernah habis kalau harus satu-satu kuceritakan pengalamanku dengan mereka. Itu baru dua orang. Aku juga belum cerita bagaimana aku bertemu dengan orang-orang hebat lainnya di Bali. Berhadapan dengan para internship yang datang dari belahan dunia lain seperti Belanda, London, India, German, dan lainnya. Intinya aku benar-benar sedang mengalami fase perubahan kebiasaan hidup dengan lingkungan baru.

Buat kalian yang baru merantau, selamat menjajaki kehidupan di lingkungan baru :) 

Komentar