One-Sided Love


Malam ini aku pergi keluar untuk ngisi perut yang sebenernya ngga laper, tapi ngga kenyang juga. Dan akhirnya aku memutuskan untuk ke daerah Sidakarya membeli semangkok mie ayam dan bakso disana. Aku lupa membawa hapeku. Bukan lupa, tapi sengaja supaya aku bisa konsentrasi saat makan. Tapi ternyata disana lumayan rame, alhasil aku agak bengong untuk menunggu dan jadi berpikiran kemana-mana.

Diusiaku yang udah memasuki hampir seperempat abad ini, wajar kan kalau mikirin masalah hati? Entah kenapa jadi lebih sensitif aja ke arah sana akhir-akhir ini. Mungkin karena banyak teman yang udah tunangan, menikah, atau bahkan sudah mempunyai anak. Aku sebenernya pengen jadi orang idealis yang meng-claim bahwasannya "aku bisa kok hidup sendiri, alias being independent woman". Tapi ternyata ngga bisa selamanya statement itu tertanam di dalam diri ini guys. Aku punya orang tua yang mana mereka juga pasti berharap aku menemukan seseorang yang bisa jagain aku, membimbing aku, dan menuntunku ke hal-hal yang lebih baik lagi untuk menggantikan posisi mereka nantinya.

Tapi aku juga bingung kenapa aku masih seperti ini. Lebih tepatnya adalah aku tidak tahu cara memulai hal-hal itu: bagaimana mereka jadian, kemudian memutuskan untuk menikah. Pacaran jelas dilarang, tapi kalau tidak ada komitmen bagaimana cara memulai? Ah terlalu ribet untuk dipikir sebenernya. Tapi aku harus mulai untuk mikir. But I do believe, one day Allah will gives me the way for that.

Ngomong-ngomong tentang "rasa suka", aku juga sebagai manusia biasa yang tak luput dari dosa-dosa pastinya pernah merasakan indescribable feeling sepanjang aku hidup. Yakali kalau ngga punya justru bahaya yee kaan??

Tapi malam ini sambil ngaduk-ngaduk mie ayam dalam mangkok, aku menyadari satu hal yang selalu terjadi di dalam hidupku. Aku selalu mengalami cinta satu arah. Kayak penyebutan sebuah sistem lalu lintas kendaraan ya guys.. hehehe

Iya, aku menyebutnya cinta satu arah itu karena hanya salah satu pihak aja yang condong. Semoga kalian ngerti ya, soalnya agak geli mau deskripsiin lebih detail hahaha..

Waktu kuliah, aku pernah deket sama beberapa orang. Tapi kalau orang yang benar-benar aku suka, mereka malah ngga begitu condong ke aku. Lebih tepatnya sih mereka ngga berani mengungkapkan dengan "clear" jadi jatuhnya di aku ya malah bikin bingung seperti kasus pertama ini.

Cewe itu ngga mau agresif chat duluan dan ngungkapin duluan untuk menjaga harga diri pastinya. Dan menurut pandangan cewe, pasti cowo juga ngga suka sama cewe yang agresif kayak gitu. Tapi kalau ngga ada yang memulai jatuhnya seperti hubungan dengan teman biasa. Giliran aku memutuskan dekat dengan orang lain, malah aku di cap mainin perasaannya. Haduuh hubungan tidak sebercanda itu. Kalau isi chat kalian cuma capcipcup nanyain kegiatan sehari-hari dan tanpa ada diskusi serius tentang perasaan barang sekali, apa itu bisa dianggap lebih dari teman? Kalau kayak gitu sih temanku malah jauh lebih perhatian daripada kamu. Udah gitu datang chat pake jadwal musiman lagi. Yakali saya buah musiman yang didatangin pas musimnya aja. Ngga bisa kayak gitu, bro. Tapi terimakasih atas semuanya. Lain kali lebih dewasa lagi dan berani dalam membuat komitmen ya.. :)

Kasus kedua yakni dimana aku suka sama seseorang, kemudian ketika dia ngasih feedback positif akunya malah ngga condong lagi. Sebenernya bukan tanpa alasan aku malah "nggak jadi suka". Ketika kamu punya idealisme tentang "say no for the smokers", kamu bakal ngga ada alasan lagi buat ninggalin. Katanya sih kalau cinta apapun keburukannya bakal disappear dimata kita. Itu sih bucin, bukan idealis. Yakali aku mau ngurus orang yang sudah menabung kerusakan untuk organnya di masa depan? Hmm I think Indonesia has man 1,3 million more than a woman. Aku pasti bisa cari yang lain!

Kasus ketiga yakni aku sudah yakin sama seseorang, bahkan sudah meminta petunjuk-Nya. Dan yess.. dia juga ternyata punya perasaan yang sama. Tapi.. di sisi lain dia juga mengakui bahwa dia lagi deket sama orang lain juga. Jadi kesimpulannya aku hanyalah cadangan yang bisa dipakai ketika pemain utama sudah tidak bisa melanjutkan permainan. Aku sih jelas cemburu banget ya sebagai wanita pencemburu sejagat bumi dan langit. Rasanya pas denger itu tuh haduuuh seneng iya, tapi pengen nangis juga iya. Awalnya aku pikir sih yaudah gapapa aku pasti bisa merebut tahta itu. Tapi pas sebulan kemudian kalau dipikir-pikir kok bego juga aku mau jadi cadangan kayak gini. Dikit-dikit kepikiran. Ngga dibales kepikiran. Mana datengnya dia di dunia perchattingan juga musiman. Yakali mood bisa following musimnya situ. Aku merasa wasting time dengan semua ini. Aku kepikiran seribu kali, dia belum tentu mikirin aku. Mungkin malah lagi asyik dengan si pemain utama(?) Mencintai tidak sesederhana itu, Ferguso. Dan akhirnya aku memutuskan untuk menyudahi saja supaya tidak bergantung pada manusia. Ya, aku rasa aku juga salah sih karena bergantung pada manusia ujungnya hanya akan menimbulkan kekecewaan.


Aku bersyukur atas semua perjalanan ini. Semua memberiku hikmah dan pelajaran supaya lebih dewasa dan tidak bergantung pada manusia. Mungkin sesekali aku akan merasa bahwasannya hidupku sepi tanpa ada orang lain yang bisa care sama aku layaknya orang yang sedang menjalin suatu hubungan kearah serius. Tapi ternyata di sisi lain aku juga menyadari bahwasannya orang tuaku masih peduli denganku, adikku masih suka berbagi cerita denganku begitu pun sebaliknya: aku kepada adikku. Jadi apa yang harus aku sedihi?

Setelah mie ayam dan baksoku habis, aku bergegas menuju kos untuk menulis ini. Buka laptop, nulis, dan alhamdulillah bisa selesai. Karena nulis itu butuh mood dan atmosfir yang mendukung, jadi aku pasti langsung nulis saat itu juga supaya semua tercurahkan. Kalian yang suka nulis pasti mengalami hal yang sama kan?

Thank you for reading this article. Ambil yang positif, buang yang negatif ya :)

Denpasar, July 24th 2019

Komentar