How Do I Survive with The Culture Shock in Bali?


Aku seneng banget akhirnya salah satu doaku terkabul, yakni bekerja di Bali. Eitss.. ngga segampang itu guys. Tinggal di Bali ternyata juga butuh perjuangan di awal. Aku menulis artikel ini tepat setelah satu bulan tinggal di Bali. Let me tell you my stories!

Left to Right: Skin Aqua Sunscreen SPF 50 for face, Vaseline Sunblock SPF 30 PA+++
The first impression about Bali for me is: Schorching! Aku pernah denger memang katanya Bali panas. Tapi aku yakin that I can struggle with it. Selama aku di Jogja, aku rasa kota itu merupakan kota yang cukup panas. So, I think I can handle it. Tapi.. apa yang terjadi? Ternyata benar-benar panas pemirsah.. hahaha 
Baru kali ini aku lihat kulitku kering super keling dan seperti bersisik. Wajah, padahal baru setengah hari, udah jerawatan kecil-kecil alias beruntusan. Hari pertama aku sampai di Bali, hal pertama yang aku cari adalah moisturizer dengan SPF tinggi. Selain kering, kulit juga menggelap soalnya.. Jadi belangnya keliatan banget deh pokoknya.. That's the first shock culture that I've met.

Then, hal kedua yakni tentang banyaknya anjing liar yang lalu lalang di jalanan. Aku udah beberapa kali dapet cerita dari orang tentang hal ini. Tapi setahuku selama kita tidak mengganggu mereka, don't worry about it. Ya.. Oke.. sebatas itu guys..jangan khawatir. Tapi kenyataannya, anjing yang berkeliaran betul-betul banyak banget. Di Bali itu banyak banget gang yang ujungnya buntu, dan setiap gang biasanya pasti ada anjingya.. Ngga cuma satu pula.. Aku bakal cerita salah satu pengalaman terburukku dengan anjing-anjing ini di Bali.
Jadi, hari pertama aku cari kosan (dibantu oleh mbak Esti), kami bermaksud menanyakan perihal kosan yang disewakan yang iklannya terpajang di pinggir jalan. Masuklah kami ke gang tersebut. Dan ternyata kosan yang dipajang itu dari tampak luarnya sudah kurang baik, alhasil kami putuskan untuk putar balik menuju jalan besar tadi. Ternyata, berhentinya suara motor kami memancing dua anjing kosan keluar dan menggonggong. Kemudian aku diminta keep calm oleh mbak Esti. Posisi dua anjing tadi udah di depan motor and kiri kita tuh, dan masih menggonggong lantang. 
Pas motor udah muter balik... Astagfirullahaladzim.. Dua anjing lainnya menunggu kami di ujung gang. Gangnya pun sempit sekitar 2.5 meter lebarnya. Awalnya bingung mau gimana karena udah di kepung haha, tapi Alhamdulillah berhasil melewati mereka. Dari situ aku trauma untuk masuk gang asal-asalan. That's it.

Selanjutnya yakni tentang kaum Muslim yang menjadi kaum minoritas di Bali. Sebagai orang yang biasa menjadi golongan mayoritas, datang dan tinggal serta menjadi kaum minoritas tentu bukan hal yang mudah buat sebagian orang terutama diriku. Perlu diketahui, bahwasannya menurut data dari Badan Pusat Statistik, per tahun 2018 prosentase penduduk Muslim di Bali yakni sebanyak 13,37 %. Sedikit banget kan ya.. Iya, karena disini mayoritas beragama Hindu. Aku solat di kantorpun udah kayak diluar negeri: wudhu di wastafel. Tapi untungnya kantor membolehkan sebagian ruangnya digunakan untuk shalat. Hikmah dari keadaan ini, aku jadi lebih bisa mengetahui bagaimana cara menghormati kaum minoritas, karena aku merasakan jadi kaum minoritas itu sendiri. Selain tempat ibadah yang susah untuk di jangkau, adzan pun kita ngga akan dengar kecuali kita tinggal di samping Masjid/Musholla. 

Well, kita masuk di pembahasan terakhir. Yakni tentang Makanan. Menurutku nyari makan di Bali itu susah susah gampang. Susahnya karena ngga semua halal, bahkan jual daging babi guling itu sangat common things in here. Gampangnya, kalau kita udah lama disini pasti bakal tau kok tempat-tempat yang recommended dan cocok buat kita.
"Sebagai kaum minoritas, kita tentu ngga boleh minta di hargai. Justru kita yang harus menghargai mereka.", jelas menurut salah satu Ustadz yang sedang mengisi kotbah shalat terawih di Masjid daerah Kertadalem. 
I do quite agree with the statement. Kalau kita sama-sama minta dihargai, ngga akan ada habisnya pembahasan tentang perbedaan pendapat di dunia ini. Andai semua saling menghargai, pasti perdebatan ngga akan beruntut panjang. Ya ngga sih?
Aku pernah kejadian mesen makanan di tempat yang juga menjual menu babi. Dan shocknya, aku baru sadar setelah aku selesai pesan. Untuk sebagian orang mungkin akan dipermasalahkan, "itu sama aja haram, ngga boleh, haram". Tapi bagiku, selama aku ngga berniat untuk mengkonsumsi itu, ya sudah itu tanggung jawabku dengan Allah. Selesai. 

Aku kira hal di atas sudah mewakili tentang beberapa culture yang cukup membuatku shock di Bali. Kalau ada hal lain mungkin aku bakal share di lain waktu. Terimakasih sudah membaca artikel ini :)

Komentar