#UlfaMisuh (Part 2)


Pagi ini aku terbangun. Menjemur pakaian yang dari semalam sudah kurendam dengan pewangi pakaian. Kemudian kembali ke kasur, berbaring, dan membaca ulang noteku untuk #ulfamisuh part1.

Bukan untuk melanjutkan misuh, sebenernya. Aku juga nggak suka misuh. Tapi katanya kalau ada sesuatu yang dipendam dalam hati dan nggak kamu ungkapin, malah akan bahaya. Makanya kadang orang gampang untuk misuh. Ngeluarin unek-unek. Tapi beda denganku. Kalau aku misuh dengan mulut ini, berubahlah semua pandangan orang tentang aku. Berjilbab. Tidak pernah neko-neko. Tapi mulut gak berkualitas. Yasudah, menulis adalah salah satu jalanku.

Tapi sepertinya hari ini aku ingin me-misuh-i diriku "lagi". Ini masih tentang aku yang bodoh karena dia. Awalnya aku ngga percaya orang bisa jadi bodoh karena perihal cinta. Idih kayak ngga ada kerjaan lain aja (?)! Bodoh! Sekarang aku diposisi itu. Aku ketergantungan oleh seseorang yang udah nyuri hatiku pergi sejak awal kami jumpa di tahun 2013. Sebenarnya hati itu sempat kembali ditahun-tahun selanjutnya. Tapi entah kenapa kuantitas pertemuan kami yang terus aja nambah, ngebuat hati ini ikut dengannya lagi. Aku susah untuk nggak memikirkan dia barang sehari aja. Gengsiku tinggi. Ya.. itu harus. Wanita memang harus memasang gengsi supaya nggak terlihat murahan. Tapi dilematis justru datang. Kalau aku tetap diam tanpa mencoba meghubunginya dan terus berharap supaya dia yang menghubungiku duluan, apakah percakapan akan dimulai? Aku bingung. Sebenarnya ini sudah merupakan jawaban halus atas pertanyaan "apakah dia juga tertarik padaku?". Dan jawabannya tidak. Jikapun iya, mungkin aku tidak akan bingung sampai harus menulis ini.



Yogyakarta, 11 April 2019

Komentar